RSS Feed

Gegabah Media Pada Liputan Kecelakaan AirAsia

Posted by Maliq Abd

Konferensi Pers Menkes di Polda Jatim. Foto : Malik/Antara
Kecelakaan Pesawat AirAsia QZ 8501 dan pemberitaan kecelakaan itu adalah dua objek yang kini menjadi sorotan publik dalam beberapa pekan terakhir, karena selalu menempati halaman utama di sejumlah media cetak maupun elektronik.

Bahkan di televisi, "update" berita kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 yang dihimpun dalam "breaking news" hadir setiap detik dan ini tidak hanya terjadi di skala nasional, tapi juga menyita perhatian dunia internasional.

Puluhan televisi asing juga turut melakukan pembaruan berkelanjutan ("update") dengan menempatkan sejumlah wartawannya di lokasi identifikasi jenazah AirAsia, yakni di RS Bhayangkara, Polda Jatim, Surabaya.

Diakui, pemberitaan kecelakaan dalam dunia penerbangan sangatlah menarik bagi sebagian besar media nasional maupun internasional, karena standar sistem penerbangan yang digunakan sudah merujuk pada standar internasional, bukan lagi lokal antar-kota dalam provinsi.

Oleh sebab itu, setiap kali terjadi kecelakaan udara akan menjadi sorotan publik dunia internasional, ditambah lagi banyaknya nyawa manusia yang melayang dalam setiap kecelakaan udara, sehingga berita eksklusif menjadi satu tuntutan dan kewajiban yang sangat menggebu-gebu agar bisa diperoleh media/jurnalis dalam meliput peristiwa kecelakaan penerbangan.



Akibatnya, berbagai cara pun dilakukan untuk mengejar berita yang bernilai eksklusif, karena tampilan atau tayangan eksklusif akan menjadi sorotan banyak publik, serta menjadi referensi khalayak.

Begitu pula bila mendapatkan sisi lain dari sebuah peristiwa kecelakaan, yang bisa menjadi kebanggaan serta nilai tersendiri bagi media atau si wartawan.

Tentunya, nilai eksklusifitas ini akan berdampak pada jumlah pembaca atau pemirsa, yang dalam istilah media disebut dengan "rating" (penilaian/kelas/peringkat). "Rating" inilah yang akan berdampak pula pemasukan iklan, sehingga mendapatkan keuntungan dalam bentuk finansial.

Maka wajar, dengan adanya peristiwa AirAsia QZ 8501, sejumlah media menggebu-gebu bahkan terkesan gegabah (kurang hati-hati) dalam melakukan reportase atau peliputan.

Salah satu contoh sikap gegabah media adalah saat salah satu wartawan stasiun televisi nasional melakukan reportase dengan mewawancarai kerabat penumpang AirAsia QZ 8501. Atau, saat televisi menyorot tajam jenazah korban AirAsia QZ 8501 tanpa sensor dan menunjukkan bentuk fisik jenazah yang baru saja ditemukan.

Akibat sikap gegabah itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat langsung memberikan peringatan keras kepada televisi bersangkutan, karena mendapat pengaduan dari keluarga korban serta pihak AirAsia. Ada tiga stasiun televisi nasional yang disorot yakni Metro TV, TV One, dan TVRI.
Kamera wartawan di Polda Jatim. Foto : Malik/Antara


KPI pun kemudian mengeluarkan imbauan agar media turut berempati terhadap keluarga korban dalam peliputan kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501, dan meminta agar tidak memaksa serta menekan keluarga korban untuk menjawab pertanyaan yang akan menambah rasa duka dan trauma, apalagi memaksa mengambil gambar kondisi keluarga yang sedang "terpukul".

Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengingatkan kembali stasiun televisi di Tanah Air untuk mematuhi teguran keras KPI terkait pemberitaan mengenai jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 terutama terkait penayangan gambar jenazah korban secara vulgar.

Sementara itu, Pakar Komunikasi dan Media Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo, mengatakan apa yang dilakukan media di Indonesia saat meliput kecelakaan AirAsia QZ 8501 sama halnya dengan "bunuh diri" sendiri.

Suko beranggapan, media seharusnya bisa bersikap profesional dan menghormati kode etik jurnalistik dengan selalu berpikir apa yang disiarkan atau dipublikasi bisa menimbulkan dampak secara luas.

"Namun yang terjadi, media malah mengekploitasi kesedihan demi mengejar ekslusifitas. Ini sudah masuk dalam kategori tidak etis, artinya ada yang hilang dalam konsep media itu sesungguhnya," kata Suko yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair Surabaya itu.

Ia mencontohkan media di Amerika tidak diperkenankan menayangkan proses evakuasi kecelakaan atau apa pun, karena masih bersifat dengan azas praduga tak bersalah, sebab proses evakuasi itu bukanlah hasil dan tidak boleh disimpulkan.

"Artinya, media tidak boleh menghukum atau menyimpulkan berdasarkan hasil analisnya, dan yang harus dilakukan hanyalah verifikasi data, sehingga tidak muncul pembohongan publik," katanya.

Selain Amerika, Korea Selatan adalah satu negara yang memiliki kebijakan ketat terhadap pemberitaan bencana, karena adanya protes publik terhadap pemberitaan media yang dianggap berlebihan atau gegabah dalam mengeksploitasi berita tragedi.

Apalagi, ketika terjadi tragedi tenggelamnya Ferry Jindo, media-media Korea banyak melakukan "blunder" serius, salah satunya adalah mengatakan bahwa seluruh korban selamat, padahal yang terjadi sebaliknya.

Oleh karena itu, salah satu wartawan Korean Times, Kim Tong-hyung menulis ada beberapa hal yang mesti dipegang teguh jurnalis ketika melakukan peliputan tragedi, yakni jangan sampai reportase "mengganggu" usaha penyelamatan, jangan menuliskan/mengabarkan sesuatu yang dapat membuat ketakutan yang tidak perlu.

Berikutnya, selalu melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap klaim yang ada agar tidak misinformasi, serta jangan memaksa korban/keluarga korban untuk melakukan wawancara.

Bagi jurnalis televisi, kurangi pengambilan gambar dari jarak dekat, jangan menggunakan gambar atau video yang berisi gambar brutal atau provokatif dan menahan diri untuk tidak mengumbar data pribadi dari korban serta keluarga mereka.

Selayaknya, awak media juga bijak melihat bencana. Berita Bencana bukan Cerita Kesedihan. Lanjutkan fakta yang ada dengan pemberitaan tentang harapan korban, kerja keras pencarian, bantuan/asuransi, dan seterusnya.

Secara etika, sikap gegabah yang dilakukan media dalam meliput peristiwa kecelakaan AirAsia adalah perilaku tabu, karena secara tertulis organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sudah memiliki "kode etik" yang jelas tentang ini.

PWI dalam aturannya menyebut khusus, wajib menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara. Sementara AJI, secara umum, mengatur reportase jurnalis harus menggunakan cara etis dan profesional untuk memperoleh berita, gambar, dan dokumen. (*)
(twitter@malikpunya)

0 komentar:

Posting Komentar