RSS Feed

Banjir itu Bukan Bencana

Posted by Maliq Abd

Banjir yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia di saat musim hujan, sejatinya bukanlah permasalahan yang datang tiba-tiba, karena sudah menjadi bagian dari iklim tropis negeri ini.

Bahkan dengan teknologi super canggih yang sedang berkembang, peristiwa alam itu dapat diketahui sebelum datang, melalui pusat informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebar ke aplikasi, hingga sampai ke tangan kita.



Solusi dan antisipasi datangnya banjir itu pun sudah banyak diterapkan oleh pemegang kebijakan negeri ini, dengan mengundang beberapa pakar dan ahli di bidang tersebut.

Lantas, mengapa masih terjadi banjir? Bahkan membawa korban jiwa karena hanyut terbawa derasnya arus banjir, seperti yang terjadi di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, yang telah merenggut nyawa dua orang warga.

Secara kodrati, manusia tidak menginginkan hal itu terjadi, yakni adanya korban jiwa akibat banjir, karena hilangnya nyawa salah satu saudara kita pasti membawa kesedihan bagi semua.

Upaya pemerintah dan pemegang kebijakan di berbagai daerah pun kita akui telah maksimal melakukan antisipasi sejak dini. Buktinya, coba dibedah setiap APBD di berbagai daerah, hampir dipastikan ada anggaran antisipasi bencana setiap tahun, dan anggaran itu juga hampir dipastikan terpakai.

Meski demikian masih ada beberapa pihak dan media massa yang mengkritik serta menyudutkan pemegang kebijakan, kemudian membuat opini publik terkait langkah pemerintah yang tidak banyak bergerak dalam mengantisipasi banjir.

Hal itu wajar, karena hidup tidak selalu berjalan normatif dan lurus. Pastinya pemegang kebijakan tahu bagaimana menyikapi kritikan itu sebagai masukan. Jika memang demikian, kritikan itu akan diterima beserta solusinya dan perlahan namun pasti solusi itu akan diterapkan dalam kenyataan pembangunan bertahap.  

Kesadaran mengantisipasi banjir di berbagai wilayah Indonesia memang diakui bervariasi, dan kemampuan paradigma (cara pandang) setiap penduduknya juga cukup beragam. Hal ini wajar karena isi otak manusia memang tidak sama.

Namun demikian, dari beragamnya cara pandang dan solusi mengenai banjir, ada garis besar yang diingingkan setiap penduduk, yakni meminimalkan atau bahkan jangan sampai membawa korban jiwa akibat banjir.

Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, Abu Hasan mengatakan banjir di beberapa titik wilayahnya merupakan banjir tahunan, seperti di wilayah hilir Bengawan Solo atau Gresik utara.

Banjir di kawasan itu diakibatkan luapan Bengawan Solo setelah hujan deras di beberapa wilayah tetangga, seperti Lamongan dan Bojonegoro, sehingga aliran air mengalir ke Gresik, yang secara struktur lebih rendah daripada kedua daerah itu.

Dari ungkapan Abu Hasan, diketahui banjir yang terjadi di Gresik merupakan peristiwa "langganan" atau pasti terjadi setiap tahun.

Dan kata Abu Hasan, beberapa warga telah menganggap hal itu biasa, serta sudah menjadi "teman" yang datang setiap tahun. Meskipun demikian, diakui bahwa teman itu tidak diundang, namun tetap menyambangi beberapa titik di wilayah itu.

Apakah ada solusi menghindari teman yang datang setiap tahun itu? Pasti ada, sebab Pemkab Gresik saat ini masih dalam proses membangun Bendung Gerak Sembayat (BGS) yang diharapkan mampu meminimalkan banjir yang datang, dengan memanfaatkan luapan Bengawan Solo sebagai solusi pertanian.

Kepala Bagian Humas Pemkab Gresik Suyono mengatakan BGS dibangun bukan untuk menghilangkan luapan air kiriman, namun mengelola luapan itu menjadi manfaat bagi masyarakat setempat.

Rumus kemanfaatan itulah yang kini sedang dibuat Pemkab Gresik, dan kita akui beberapa wilayah juga sedang menerapkan hal yang sama.

Sehingga, banjir yang datang setiap tahun bukan lagi merupakan bencana yang harus ditakuti, melainkan rezeki yang dihadirkan Sang Pencipta setiap tahunnya kepada penduduk negeri ini.

Bukan Bencana

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata "bencana" diartikan sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian atau penderitaan, serta kecelakaan dan bahaya.

Namun bila dilihat dari upaya Pemkab Gresik dalam mengelola luapan air yang datang setiap tahun di wilayah itu, apakah banjir yang datang masih bisa disebut sebagai bencana? Sebab kedatangannya memberi manfaat dalam pengairan wilayah setempat.

Manfaat yang didapat dari pengelolaan banjir di Kabupaten Gresik meliputi terjaminnya irigasi pertanian di musim kemarau karena adanya BGS, ditambah mudahnya industri mendapatkan air tawar, karena selama ini apabila kekurangan air, selalu mengambil air laut yang asin.

Koordinator Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim (PSKBPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amin Widodo dalam seminar di Surabaya beberapa waktu lalu mengatakan pemahaman terhadap bencana masyarakat perlu diubah.

Sebab, saat ini bencana seperti banjir atau lainnya, lebih banyak dianggap sebagai sesuatu kejadian yang tidak bisa diprediksi karena beberapa sebab, di antaranya menganggap bencana sebagai takdir dan musibah yang harus serta layak diterima masyarakat.

"Pemahaman inilah yang menyebabkan Negara ini hanya mengenal penanganan bencana setelah terjadi, mirip konsep pemadam kebakaran, yang datang memadamkan setelah ada kebakaran," katanya.

Padahal, dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana memungkinkan setiap wilayah di Indonesia bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengurangi risiko bencana, termasuk pemanfaatan sistem-sistem dini berbasis teknologi.

Apabila hal itu terjadi, kata dia, upaya mencegah korban jiwa yang terjadi dalam setiap bencana dapat diminimalkan karena ada langkah-langkah yang dilakukan terlebih dahulu.

"Sudah menjadi kebiasaan penanganan bencana datang setelah peristiwa tejadi, padahal bencana tidak semua terjadi tiba-tiba, tapi terkadang rutin terjadi," katanya.

Oleh karena itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kata Amin, sudah dijelaskan perlu adanya perubahan paradigma penanggulangan bencana dari responsif (terpusat pada tanggap darurat dan pemulihan) ke preventif (pengurangan risiko dan kesiapsiagaan).

Sebab, Amin mengakui dalam pelaksanaannya masih sedikit program pengurangan risiko bencana yang terencana dan terprogram.

"Yang harus diingat, risiko bencana dapat dikurangi melalui program pembangunan yang berprespektif pengurangan risiko serta pendataan ruang berdasarkan pemetaan dan pengkajian risiko bencana," katanya.

Ia menyarankan, kalau semua bisa diantisipasi sejak awal tentunya akan diminimalkan dan yang jelas, jangan beraksi setelah kejadian, tapi sebelumnya harus ada antisipasi.(*)

0 komentar:

Posting Komentar