RSS Feed

Sikap RD dan Dualisme Kompetisi

Posted by Maliq Abd

Foto : Maliq Abd/ RD saat memberi arahan pada dua pemain naturalisasi
     Ajang Sepak Bola SEA GAMES telah berakhir beberapa bulan lalu, dan Timnas Garuda Muda harus mengakui ketangguhan Tim Harimau Malaya yang berhasil mempertahankan medali emas yang sebelumnya pernah diraihnya di ajang yang sama.

     Namun, bukan persoalan gagalnya Timnas yang akan dibahas penulis, melainkan sikap Coach ''RD'' (Rahmad Darmawan) yang mengarsiteki timnas, dan secara tegas mengakui kekalahan anak asuhnya itu dari lawan bebuyutan.


     Bahkan, RD siap mempertanggungjawabkan atas gagalnya Garuda Muda itu dalam merebut emas, dan dia mengakui bahwa pihak yang paling wajib disalahkan adalah dirinya.



     Dalam sebuah situs berita disebutkan, RD juga siap mengundurkan diri dari artistek Timnas Garuda Muda untuk mempertanggungjawabkan kekalahanya itu.
 

     "Saya ucapkan selamat untuk tim Malaysia yang telah mampu memenangi pertandingan ini," ungkap RD dalam sebuah wawancara setelah Final Sepakbola SEA GAMES.
 

     Sikap tanggungjawab dan mengakui kekalahan ini yang jarang dimIiki setiap insan yang bergelut di dunia si kulit bundar, bahkan di ajang internasional pun sikap secara kesatria mengakui kesalahan sangat langka didapat.
 

     Seperti yang terjadi pada arsitek Timnas Senior, Wim Rijsbergen yang selalu mencari alasan pembenaran dan berkelit ketika anak asuhnya kalah dari lawannya.
 

     Dari sikap seorang RD, sepatutnyalah para insan sepak bola nasional yang berkumpul dalam satu wadah bernama PSSI, bisa belajar dan meniru.
 

     Sehingga perpecahan kompetisi atau dualisme tidak terjadi, dan pembinaan sepak bola nasional bisa difokuskan menjadi satu tanpa adanya kepentingan segelintir orang.
 

     Bergulirnya dua kompetisi di Indonesia yakni Liga Primer Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI) yang saling klaim sebagai kompetisi paling benar dan mendapat izin dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) adalah buah dari kurangnya sikap tanggungjawab dan menerima kekalahan, sehingga dua kubu merasa saling benar.
 

     Disamping itu, adanya egoisme di setiap individu insan sepak bola yang dibalut dengan kepentingan politik membuat masalah dualisme kompetisi semakin tidak terselesaikan, sehingga mengorbankan kepentingan pembinaan sepak bola di tanah air.  
 

     Entah sampai kapan ini semua berakhir, sebab  jika kepentingan politik sudah masuk ke ranah sepak bola, dikhawatirkan setiap partai politik (parpol) pun akan membuat klub sepak bola sendiri, dan nanti muncullah persatuan sepak bola (PS) Golkar, PS PPP dan PS PDIP, yang sebagian besar pendukungnya bukanlah suporter murni, melainkan hanyalah pendukung parpol.
 

     Jika sudah demikian, harapan besar masyarakat di tanah air untuk menelurkan pemain berbakat serta menciptakan tim masa depan yang mampu menembus piala dunia, akan menjadi impian semata.

1 komentar:

  1. Yunan Syaifullah (Kota Malang, Jawa Timur)

    esai yang begitu menarik....

Posting Komentar